Kebahagiaan letaknya dimana?

Kemarin saya nonton film Trinity Traveller yang diadopsi dari buku karya Trinity sendiri mengenai kisah pribadinya yang suka sekali travelling & menulis. Dia bekerja sebagai karyawan perusahaan yang sering minta cuti untuk jalan-jalan, menulis blog terkait pengalaman jalan-jalannya, dan pada akhirnya menjadi penulis professional. Filmnya lucu & yang paling menarik perhatian saya adalah pesan di akhirnya, dimana Trinity merefleksikan kembali perasaannya sepanjang perjalanannya ke banyak tempat. Ada tempat-tempat yang menyenangkan, tak jarang juga ada tempat yang mengesalkan. Namun dia merasa belum pernah ketemu satu tempat yang bisa memberikan kebahagiaan secara menyeluruh. Dari situ dia menyimpulkan bahwa sebetulnya kebahagiaan itu bukan terletak pada tempat yang dikunjungi, namun terletak pada hati kita.

Selama masa pandemi Covid-19 dimana orang-orang dibatasi untuk berpergian keluar rumah agar bisa menurunkan/menghilangkan penyebaran virus, cara hidup masyarakat harus berubah agar mampu beradaptasi dengan situasi saat ini. Semua orang harus memakai masker, menjaga jarak, tidak beraktivitas beramai-ramai, rutin cuci tangan/membersihkan diri, dan hanya keluar bila benar-benar ada keperluan. Perusahaan-perusahaan pun harus merubah cara kerjanya dari bekerja di kantor menjadi bekerja dari rumah. Terhitung sejak pertengahan Maret 2020 hingga saat ini (4.5 bulan) dan belum tahu sampai kapan, saya masih full bekerja dari rumah dan kurang dari 5x berpergian keluar rumah. Wow! Tidak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran saya bahwa bisa ada pandemi virus yang melanda satu dunia yang mampu merubah cara hidup seluruh umat manusia, mengharuskan kita untuk tinggal di rumah & beraktivitas sendirian justru lebih baik daripada bersama-sama. Bahkan tidak pernah terpikir bahwa saya bisa bertahan di dalam rumah dalam jangka waktu yang sangat lama, karena saya tipe orang yang sebetulnya lebih suka explore keluar dibandingkan diam di rumah. Namun, lihatlah, kembali lagi kenyataan menyadarkan saya bahwa kita sebagai manusia sungguh tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin kita manusia sering merasa makhluk paling hebat, mampu berpikir dengan logika & menggunakan segala pengetahuan untuk membuat beragam simulasi untuk memprediksi masa depan. Nyatanya bila Tuhan berkata lain, siapa yang mampu menerka sebelumnya, bahkan mampu mencegahnya? Tidak Ada.

Berbulan-bulan di rumah, melakukan berbagai aktivitas supaya bahagia & tidak bosan, seperti lebih sering Yoga, memasak, mengambil kelas online untuk meditasi / memasak / herbalist (walaupun saya banyak belum commit untuk menyelesaikannya, hehe maafkan saya yang mudah bosan ini), komsel online, video calls, nonton netflix, sampai membuat blog ini, hahaha XD. Masih bosan? Tentu saja XD~

Tidak mudah, atau memang tidak ada yang namanya kebahagiaan permanen. Hari ini bahagia misalnya karena Yoganya enak banget, membuat badan & hati ringan, besoknya jenuh & tidak bahagia lagi karena rutinitas pekerjaan. Sangat volatile.
Dahulu mengeluhkan tidak bisa sering pergi / hangout dan dalam durasi yang lama, karena mama merasa tidak tenang ditinggal sendirian di rumah, namun sekarang, jangankan pergi sebentar, untuk pergi keluar saja sebaiknya jangan :'D. 

Ketika saya mengharapkan bisa lebih sering pergi dengan bebas, namun Tuhan justru membuat situasi 180 derajat berkebalikan. Ketika cara yang saya pikirkan untuk bisa bertemu jodoh adalah dengan lebih sering mengikuti acara-acara kebersamaan seperti speed dating, kelas meditasi di Bali, retret, dll., namun semua rencana harus batal & tinggal di rumah, seolah-olah situasi membuat semuanya tampak mustahil. Sounds familiar?

Saya suka mengamati cerita-cerita orang yang sering dihadapkan pada situasi yang tampak mustahil, rasanya tidak mungkin seseorang bisa mencapai yang diharapkannya dengan situasi seperti itu, namun ternyata dia berhasil mendapatkannya melalui cara-cara yang berbeda dari yang pernah dibayangkannya. Saya pun pernah mengalami situasi seperti itu saat membuat resolusi 2018, dimana bila saya flash back, rasanya bagi saya tidak mungkin resolusi itu tercapai dalam waktu satu tahun, namun nyatanya berhasil tapi dengan cara yang sangat tidak pernah saya pikirkan sebelumnya. Seperti yang Steve Jobs pernah katakan, 
"You can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards."

Well.. What can I say?
Manusia yang berencana, namun Tuhan yang berkehendak.
Nyatanya peribahasa ini sungguh terbukti. Namun terkesan kita hanya boleh pasrah, karena nantinya Tuhan juga yang menentukan. Namun menurut saya yang perlu kita ingat juga, Tuhan justru mengajak kita untuk tetap menyampaikan permohonan dengan rasa syukur, dan doa tanpa perbuatan pada hakikatnya mati. Tuhan juga tidak pernah berjanji jalan selalu rata atau air selalu tenang, namun Tuhan berjanji akan setia menyertai kita sampai akhir jaman. So, saya pikir maksudnya adalah Tuhan yang merancang masa depan kita sehingga Dia yang lebih tahu apa yang sungguh kita butuhkan. Namun karena Tuhan sayang sama kita, sehingga Dia menghargai kehendak bebas dan keinginan kita, Tuhan juga suka mengabulkan keinginan kita, asalkan hal itu tidak membuat kita menjadi buruk dan kita sudah siap menerimanya. Sebagian terkabul dalam rupa yang sama, namun mungkin beberapa melalui caraNya Tuhan, bukan caranya kita. Sebagian lagi terkabul dalam rupa yang berbeda namun jauh lebih baik, atau bahkan tidak terjadi sama sekali karena Tuhan tahu itu tidak baik untuk kita. Well, yang bisa saya refleksikan adalah Tuhan mampu melihat keinginan dan kebutuhan anak-anakNya secara menyeluruh dan sampai akhir jaman, tidak hanya terbatas untuk saat ini namun juga untuk besok, tahun depan, 3 tahun lagi, bahkan sampai kita meninggal nanti. Tuhan pasti sudah tahu semua yang kita butuhkan dan memahami juga apakah semua yang kita inginkan saat ini baik untuk kita, agar kelak kita bisa menjadi pribadi yang siap di masa depan. Sementara rentang pikir manusia terbatas. 

Saya percaya pandemi ini juga akan memberikan kita banyak hikmah, termasuk saya. Kesannya keinginan saya dari dulu untuk bisa bebas berpergian & merasa bahwa semakin saya memiliki kebebasan untuk pergi kemana saja, semakin saya akan merasa bahagia, namun seolah-olah malah semakin Tuhan jauhkan, wkwkwk lucu yaa.. XD 
Justru kesannya Tuhan mengajak saya untuk belajar berdamai dengan keinginan ini, belajar untuk tidak attach dengan keinginan duniawi, dan sedikit banyak menyadarkan saya bahwa kebahagiaan kekal bukan berasal dari stimulus luar, namun dari dalam diri yakni keputusan kita untuk berdamai dengan segala situasi.
Lalu bagaimana dengan logika saya bahwa untuk bisa bertemu jodoh, saya harus lebih sering bertemu orang-orang baru. Namun bagaimana saya bisa sering bertemu, bila tidak ada acara kebersamaan yang bisa saya ikuti? Acara online yang memberikan ruang untuk kita bisa berkenalan satu sama lain juga belum ada. Ujung-ujungnya hanya acara online dengan teman-teman yang sudah lama saya kenal. So, kembali lagi seolah-olah Tuhan semakin menjauhkan kemungkinan terkabulnya permohonan saya ini. Namun, bila Tuhan dulu mampu mengabulkan permohonan saya dengan caraNya yang unik, maka tidak menutup kemungkinan Dia juga mampu kabulkan di tengah situasi mustahil seperti saat ini. Let's see.. 

Postingan ini adalah cerita saya dalam mencoba merefleksikan & memahami hikmahNya dari situasi pandemi ini. Saya masih on the way memahami semua hikmah Tuhan dibalik peristiwa ini untuk saya pribadi. Seperti lanjutan yang Steve Jobs pernah katakan,
"So you have to trust that the dots will somehow connect in your future."

Satu peristiwa yang sama, bisa berbeda hikmah untuk setiap pribadi, tergantung bagaimana Tuhan melihat kebutuhan kita :)

Selamat berefleksi & berbagi cerita ^^


#penyertaanTuhan #refleksidiri #kebahagiaan #connectingthedots

Comments